Jumat, 05 Juni 2009

PENTINGYA UU PENGADILAN TIPIPKOR

RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Korupsi di Indonesia kian merebak, hampir ke semua lini dan lembaga, meski upaya pemberantasannya sudah dilakukan sejak tahun 1960-an. Maka pers asing selalu menjuluki Indonesia sebagai the sick man of Asia karena korupsi telah menggurita ke berbagai sektor pembangunan.

Kini, ketika Presiden Yudhoyono memimpin negeri ini, ia mempunyai obsesi kuat untuk memberantas korupsi. Oleh karena itu, persoalan yang perlu segera ditangani adalah, pertama, RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pembuatan RUU Tipikor harus secepatnya dalam menyiapkan hakim spesifik yang profesional. Kedua, meniadakan ketentuan izin Presiden bagi pejabat negara yang korup.

Profesional

Keberhasilan penyelesaian perkara korupsi memerlukan penanganan profesional dan spesifik melalui Pengadilan Tipikor. Pertimbangan perlunya Pengadilan Tipikor sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012016-019/PUU-IV/2006 yang memerintahkan pembentukan UU Pengadilan Tipikor dalam waktu selambat-lambatnya tiga tahuh, sebagai pengganti ketentuan Pasal 53 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pasal 53 menentukan, "dengan UU ini, dibentuk Pengadilan Tipikor yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan KPK".

Pengadilan Tipikor bertujuan menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Sejauh ini banyak kalangan menilai hakim yang menangani perkara korupsi di pengadilan konvensional kurang berhasil karena masalah integritas. Diharapkan Pengadilan Tipikor menyiapkan hakim-hakim profesional, independen, dan imparsial.

Patut diakui, keberhasilan penyelesaian kasus korupsi oleh Pengadilan Tipikor karena selama ini taksatu pun yang membebaskan koruptor dari ancaman hukuman. Ini merupakan bukti keseriusan para hakim.

Dualisme penanganan korupsi oleh pengadilan umum dan Pengadilan Tipikor selama ini mengakibatkan belum efektifnya penegakan hukum. Kewenangan Pengadilan Tipikor mengadiliperkara korupsi yang dituntut jaksa penuntut umum dari KPK, sedangkan terdakwa kasus korupsi yang dituntut jaksa penuntut umum dari kejaksaan diadili di pengadilan umum.

Untuk itu, pemerintah diharapkan secepatnya mengajukan RUU Pengadilan Tipikor yang diberi kompetensi menyelesaikan semua perkara korupsi dengan alasan, agar penanganan korupsi terkonsentrasi dan menjadi kompetensi Pengadilan Tipikor.

Menurut Pasal 11 UU No 30/2002, KPK berwenang menyelidiki, menyidik, dan menuntut tindak pidana korupsi yang melibatkan penegak hukum, penyelenggara negara, tindak pidana korupsi yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat serta menimbulkan kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar. Namun, dalam RUU tentang Pengadilan Tipikor, wewenang KPK perlu diperluas sehingga mencakup seluruh kategori perkara korupsi, mulai dari kerugian negara dalam jumlah kecil hingga kerugian besar.

Kedua, hakim Pengadilan Tipikor yang juga bagian pengadilan umum dilatih secara khusus sehingga memiliki kemampuan andal, mandiri, dan imparsial dalam menjalankan tugas.

Izin Presiden

Ketentuan tentang izin Presiden untuk memeriksa pejabat negara yang terlibat korupsi selama ini menghambat efektivitas penanganan perkara korupsi dan pencegahannya. Pasal 106 UU No 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 36 UU No 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah sama-sama mengatur izin pemeriksaan pejabat negara.

Dari perspektif hukum pemerintahan, hakikat izin sebagai salah satu bentuk pengawasan preventif guna mencegah pelanggaran hukum. Oleh karena itu, izin pemeriksaan pejabat negara yang diduga korup sama dengan melindungi koruptor secara normatif. Izin Presiden atas permintaan penyidik, sesuai Pasal 36 Ayat (1) UU No 32/2004, dalam kasus tertentu berpeluang disalahgunakan penyidik "melindungi" koruptor dengan dalih masih menunggu izin Presiden. Padahal mungkin saja permohonan ke Presiden tak pernah dikirim.

Diskriminasi Izin pemeriksaan pejabat negara membuktikan perlakuan diskriminatif dan mengabaikan asas persamaan di muka hukum antara pejabat negara dan pegawai, negeri lain yang terlibat korupsi. Persamaan merupakan salah satu HAM sipil yang berkarakter absolut sehingga tidak boleh dilanggar oleh siapa pun sesuai dengan Pasal 28 D UUD 1945 yo Pasal 4 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dalam politik legislasi, guna menciptakan hukum responsif sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat, ketentuan tentang izin Presiden dalam hukum positif perlu dicabut. Izin Presiden dapat diganti pemberitahuan tertulis penyidik ke pejabat terkait secara hierarkis sampai Presiden sebagai laporan.

Laporan itu guna mengawasi pemeriksaan pejabat negara yang diduga korup. Maka, pengawasan pemerintah perlu ditingkatkan kendati masyarakat masih meragukan obyektivitas pengawasan badan pengawas daerah mengingat pejabatnya diangkat kepala daerah.

Selain itu, perlu dibuka kembali file korupsi di daerah-daerah dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dengan cara; pertama, menggelar kembali kasus korupsi di daerah yang masih "mengendap".

Kedua, kepala daerah yang menyalahgunakan wewenang karena "bagi-bagi" proyek dengan cara penunjukan langsung perlu diproses secepatnya.

Selasa, 17 Februari 2009

Pemberantasan Korupsi dan
Keberadaan Pengadilan Tipikor

Perdebatan tentang korupsi sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) atau kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) sempat menjadi perdebatan hangat dalam persada politik dan hukum di Indonesia. Secara akademik perdebatan semacam itu adalah suatu hal yang wajar, sepanjang memiliki dasar argumentasi yang logis, ilmiah,dan—yang paling penting lagi—konsisten. Dengan perkataan lain, dalam keadaan dan kapasitas apa pun pendapat tetap harus dipertahankan, kecuali menemukan argumentasi sebaliknya yang lebih kuat.Aneh jika perubahan itu hanya disesuaikan dengan kepentingan tertentu semata,bukan atas kerangka dan konstruksi berpikir yang ilmiah.

Secara yuridis, politik hukum (legal policy) pemberantasan korupsi telah menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Tap MPR No VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi,Kolusi, dan Nepotisme mengatakan antara lain bahwa permasalahan KKN yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius dan merupakan kejahatan luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Konsideran UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggolongkan korupsi sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (penekanannya pada hukum acara). Alasannya korupsi terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara,tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat secara luas.

Adapun UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada bagian penjelasan umum menyebutkan korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.Karena itu, tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa,melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa.

Upaya pemberantasannya pun tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa (penekanannya pada hukum materiil dan hukum formal). Salah satu upaya pemberantasannya ditetapkan melalui pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Politik hukum tersebut dituangkan dalam Pasal 53 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Bunyinya, ”Dengan undang-undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.” Dalam perjalanannya, telah diajukan judicial review bertalian dengan Pasal 53 ke Mahkamah Konstitusi.Melalui putusan perkara No 012-016-019/ PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 53 UU No 30/2002 bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung putusan diucapkan.Konsekuensinya, pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR) harus membentuk UU tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi paling lambat 3 tahun sejak putusan MK dibacakan.

Pemberian jangka waktu tiga tahun oleh MK memang menimbulkan perdebatan, misalnya bagaimana mungkin MK memutuskan suatu norma hukum bertentangan dengan konstitusi, akan tetapi pada saat bersamaan membiarkan norma yang bertentangan tersebut berlaku selama 3 tahun.Terlepas dari perdebatan,yang pasti sampai saat ini secara yuridis formal keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi masih diakui, karena itu tidak berpengaruh terhadap kasus- kasus yang sedang diproses KPK, baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan.

Pertanyaannya, apakah Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi diperlukan untuk menangani tindak pidana korupsi? Apakah pembentukan pengadilan korupsi di daerah memang sangat dibutuhkan?

Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi

Amendemen ketiga UUD 1945 mencantumkan secara limitatif empat lingkungan peradilan,yaitu peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan militer, dan peradilan agama.

Meski demikian, pembentukan pengadilan khusus sangat dimungkinkan di bawah empat lingkungan peradilan tersebut.Ketentuan ini ditegaskan dalam UU No 4/2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Permasalahan yang muncul adalahtidakadaketentuanyuridistentang tata cara atau prosedur pembentukan pengadilan khusus tersebut.

Akibatnya, pembuat undang-undang membentuk pengadilan khusus berdasarkan situasi yang muncul dalam penegakan hukum di lapangan. Secara umum, pembentukan pengadilan khusus didasarkan pada kebutuhan untuk khusus, baik dalam hal perlindungan subjek hukumnya maupun upaya penyelesaian perkara hukum yang efektif dan efisien karena perangkat hukum dan lembaga yang ada dianggap belum memadai.

Dengan demikian, pembentukan pengadilan khusus berdasarkan beberapa lasan.Pertama,adanya subjek hukum yang perlu penanganan khusus seperti anak.Kedua, adanya peristiwa hukum khusus yang penanganannya tidak dapat dilakukan dengan aturan hukum yang ada saat ini.Ketiga, adanya faktor integritas dan profesionalisme aparat penegak hukum dan hakim (KHN:2007).

Dalam konteks pemberantasan korupsi, alasan yang kedua dan ketiga merupakan alasan yang mendasari dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.Fakta menunjukkan bahwa korupsi merupakan fenomena sosial yang kronis bagi bangsa Indonesia dan menyebar ke seluruh aspek kehidupan. Tindak pidana korupsi dilakukan mulai dari praktik konvensional hingga masuk dalam sistem keuangan modern dan lintas negara. Substansi dan struktur hukum yang ada saat ini dianggap kurang memadai untuk memberantas korupsi.

Pemeriksaan perkara korupsi dalam lingkungan peradilan umum yang sekarang ini dinilai berjalan tidak efektif. Sikap masyarakat terhadap pemeriksaan korupsi di pengadilan umum sekarang ini lebih banyak menunjukkan sikap pesimistis.Masyarakat berpandangan pengadilan yang memeriksa perkara korupsi sekarang ini dipandang belum mandiri dan bebas dari campur tangan pihak lain (KHN:2003) Pembentukan pengadilan korupsi juga dalam rangka memenuhi tuntutan perlakuan secara adil dalam memberantas korupsi, jaminan kepastian hukum,dan perlindungan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.

Pembentukan pengadilan korupsi harus dilihat dalam perspektif kebijakan atau politik hukum pidana.Menurut Sudarto, melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang- undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dengan demikian, baik dari perspektif yuridis normatif maupun sosiologis, terdapat alasan yang cukup kuat untuk tetap mempertahankan eksistensi Pengadilan Khusus Tindak pidana Korupsi.

Secara yuridis konstitusional, keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus berada pada salah satu dari empat lingkungan peradilan,dalam hal ini di bawah lingkungan peradilan umum.Agar tujuan tercapai, penempatan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di bawah peradilan umum harus tetap memerhatikan kekhususan yang dimilikinya.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Daerah

Salah satu kerancuan kebijakan kriminal pemberantasan korupsi di Indonesia adalah adanya dualisme pengadilan untuk perkara korupsi.Dualisme pengadilan tersebut adalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk perkara yang penuntutannya dilakukan oleh KPK, dan pengadilan umum untuk perkara yang penuntutannya dilakukan oleh kejaksaan.

Jika dilihat dari prinsip equality before the law, dualisme pengadilan untuk perkara korupsi telah membentuk praktik diskriminasi terhadap orangorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Asas equality before the law mengandung makna setiap orang harus diperlakukan sama di depan hukum.Pengadilan (dalam hal ini hakim) yang memeriksa dan memutus perkara harus menganggap sama kedudukan setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Perbedaan dari masing-masing individu yang diduga melakukan tindak pidana korupsi adalah penjatuhan pidana berdasarkan tindakan yang didakwakan bukan pada perbedaan lembaga yang mengadili. Semua perkara korupsi harus menjadi yurisdiksi satu pengadilan. Dualisme pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara korupsi harus dihilangkan.

Pilihan yang ideal untuk efektifitas pemberantasan korupsi adalah menyerahkan semua perkara korupsi pada pengadilan khusus tindak pidana korupsi.Kompetensi absolut (yurisdiksi) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah memeriksa semua perkara korupsi. Konsekwensi dari pilihan ini adalah pembentukan kamar Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak hanya di Jakarta,tapi juga di daerah.Kebijakan ini menyangkut masalah kompetensi relatif pengadilan, yaitu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang mengharuskan seseorang terdakwa harus disidangkan.

Penyelidikan,penyidikan,dan penuntutan baik yang dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan,maupun KPK diadili di satu pengadilan yang bernama Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Wacana pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat baik pada RUU versi pemerintah maupun yang digagas oleh civil society(masyarakat).

Wacana ini memuncukan setidaknya dua tanggapan yang berbeda dan saling berhadap-hadapan. Pihak pertama yang diwakili oleh masyarakat, pemerintah dan mungkin juga DPR mendorong pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah dengan pertimbangan antara lain korupsi juga tampaknya mengikuti tren otonomi daerah.Pihak kedua yang mewakili Mahkamah Agung bertentangan dengan itu dan mengatakan secara tegas menolak wacana dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah (SINDO Sore,4/4).

Pemberantasan korupsi di daerah tidak lebih mudah atau sederhana dibandingkan dengan di pusat, persoalan korupsi di daerah juga mengalami komplikasidalampenyelesaiannya. Karena itu,pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah merupakan suatu kebutuhan yang sama pentingnya dengan pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta.




Senin, 16 Februari 2009


Dalam Krisis, Siapa Melindungi Siapa?
Oleh: Tommy Apriando*
Siapa sebenarnya yang mesti membayar biaya pemulihan ekonomi, setelah anjloknya rupiah di pasar uang internasional kemudian merembet ke sektor moneter dan sektor riil. Perdebatan ini dimulai dari beberapa pertanyaan sederhana yang â€"sepengetahuan sayaâ€"selalu muncul dari skenario pemulihan ekonomi yang advocated oleh Bank Dunia maupun Dana Moneter Internasional (IMF). Pertanyaan itu adalah; bukankah pemerintah mengemban risiko penyelamatan sektor swasta dengan mengambil alih bank-bank yang collapse? Bukankah sektor swasta juga yang akan mengambil untung ketika bank-bank bobrok itu sudah direkapitalisasi dan kemudian diswastakan kembali?
Secara sederhana, sang ekonom menjelaskan salah satu sebab yang mendorong pemerintah melakukan take over atas bank-bank swasta yang mengalami default. Dengan ilustrasi neraca sebuah bank, menurutnya, pemerintah memastikan seluruh deposan bisa mendapatkan kembali uangnya karena pemerintah menyuntikkan dana talangan (bail out fund) di sisi kewajiban bank yang mengalami krisis likuiditas. Itulah sebabnya, beberapa waktu lalu terpampang spanduk-spanduk di depan kantor-kantor bank yang menerangkan bahwa dana masyarakat aman karena dijamin pemerintah. Itu juga yang menyebabkan brosur sejumlah bank yang dulunya milik swasta kini dibubuhi catatan; Milik Pemerintah.


Siapakah Masyarakat?
Sampai di sini muncul pertanyaan; siapakah sebenarnya yang disebut masyarakat atau rakyat dalam kisah heroik penyelamatan bank-bank bobrok itu? Dalam perspektif sang ekonom, rakyat adalah para pemilik deposito dan tabungan di bank-bank itu. Jawaban yang mudah dimengerti. Lalu, siapakah sebenarnya masyarakat dalam konteks menurunnya kemampuan pemerintah dalam membelanjai layanan sosial? Sayangnya, pertanyaan ini tidak sempat kami perdebatkan. Dan jawabannya adalah; satu kelas dalam struktur masyarakat Indonesia yang secara mudah diidentifikasi sebagai vulnerable peopleless developed people atau poor people.

 
*Alumni SMA Negeri 1 Pringsewu
Mahasiswa Fakultas Hukum UII Yogyakarta
Anggota KEPEMATANG dan KaMus Lampung

Jumat, 30 Januari 2009

“Memotong Kaki” Pengadilan Tipikor*

Oleh : Tommy Apriando**

            Akhir-akhir ini di media massa muncul pendapat sejumlah tokoh dan praktisi hukum terkait ketidaksetujuan terhadap keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kehadiran pengadilan ini pun, dalam entitas sistem peradilan di Indonesia, tidak dikehendaki. Mereka juga menafikan peran Pengadilan Tipikor sebagai bagian dari pemberantasan korupsi. Sebenarnya keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan bukti keseriusan pemerintah dan DPR atas tekad pemberantasan korupsi, yang dilandasi fakta ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga penegakan hukum yang ada saat itu.

            Ini menjadi konsideran dalam Huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang berbunyi, "lembaga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi belum berfungsi efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi". Selain mengatur pembentukan KPK, Pasal 53 UU No 30/2002 tegas menyebutkan pembentukan Pengadilan Tipikor. Harus diakui, ide pembentukan Pengadilan Tipikor sebenarnya merupakan pemikiran besar meski tereliminasi karena penuntutannya dilakukan KPK. Sebenarnya, inilah penyebab mengapa Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan memutuskan perkara korupsi yang berasal dari KPK. Bila mengikuti pemikiran awal, pengadilan ini seharusnya juga memeriksa dan memutus semua perkara korupsi yang dituntut penuntut umum pada KPK dan pada kejaksaan. Pasal 1 Angka 3 UU 30/2002 pun menegaskan, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan pada semua lembaga, dengan segala cara dan pada setiap proses.

            Mengapa harus dilakukan di semua lini, termasuk di lembaga peradilan? Bukan rahasia lagi, praktik mafia peradilan dan berbagai bentuk judiciary corruption yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia justru menjadikan aparat penegak hukum sebagai bagian dari masalah, bukan bagian dalam memecahkan masalah pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena itu, tidak perlu diperdebatkan pembentukan Pengadilan Tipikor merupakan bagian integral upaya pemberantasan korupsi, sehingga mempersoalkan eksistensinya sama dengan pengingkaran terhadap kehendak reformasi untuk memberantas korupsi secara progresif.

            Bahkan, bisa jadi pengingkaran itu merupakan penolakan terhadap upaya pemberantasan korupsi yang cepat atau lambat akan menyentuh mereka yang menikmati suasana koruptif yang terjadi di lingkungannya. Apalagi bila diingat prestasi yang dibuat Pengadilan Tipikor selama tiga tahun keberadaannya menjadi sosok yang ditakuti, bahkan menjadi "kuburan" bagi pelaku korupsi. Pengadilan Tipikor juga tidak memberi peluang untuk bergerilyanya mafia peradilan, yang semuanya dapat terjadi, karena sistem yang baik dan integritas hakim dan paniteranya.

Bukan bagian KPK

            Pengaturan pembentukan Pengadilan Tipikor dalam sebuah undang-undang yang sama dengan pengaturan pembentukan KPK, yakni UU No 30/2002, tidak dapat diartikan pengadilan itu merupakan bagian KPK. Ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya hubungan organisasi dan administratif antara kedua lembaga itu. Pengadilan Tipikor ada di bawah lingkup pengadilan umum. Segala hal yang terkait dengan pembinaan sumber daya dan pengorganisasiannya menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung (MA). KPK merupakan lembaga negara yang independen dan tidak ada satu aspek pun dari manajemen sumber daya dari Pengadilan Tipikor yang menjadi tanggung jawab KPK. Hubungan yang ada hanya bersifat fungsional antara KPK sebagai penuntut umum dan pengadilan, seperti antara kejaksaan dan pengadilan. Jika selama ini terdakwa dalam perkara korupsi yang diajukan KPK ke Pengadilan Tipikor tak pernah ada yang dibebaskan, itu semata-mata karena penyidik dan penuntut umum pada KPK dengan kehati-hatian dan profesional melaksanakan tugasnya.

            Alat bukti yang disajikan dan argumentasi yang dibangun mampu meyakinkan hakim pada Pengadilan Tipikor. Hingga kini tidak satu pun terdakwa yang diajukan KPK dapat lolos dari tuntutan di Pengadilan Tipikor. Namun, itu bukan berarti tak terdapat perbedaan pendapat antara penuntut umum pada KPK dan hakim tipikor. Ini dibuktikan dengan banyaknya KPK mengajukan banding, bahkan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tipikor, meski tak pernah membebaskan terdakwa korupsi yang diajukan KPK.

Mengatur Pengadilan Tipikor

            Ada perdebatan menarik tentang di mana sebaiknya pembentukan Pengadilan Tipikor diatur. Apakah UU, dalam arti dibentuk melalui sebuah UU yang diterbitkan secara khusus untuk membentuk Pengadilan Tipikor, seperti UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, atau dalam UU lain, dalam pengertian pengadilan ini dapat dibentuk dalam UU lain yang tidak secara spesifik. Ini tetap dimungkinkan dalam sistem hukum di negeri ini. Dengan cara berpikir seperti ini, jika UU 30/2002 tidak berjudul Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi Pemberantasan Korupsi, mungkin tidak timbul masalah terhadap Pengadilan Tipikor, termasuk keinginan untuk "membunuhnya". Keinginan itu tentu dengan beragam latar belakang kepentingan, tak sekadar murni persoalan legislasi dan konstitusi.

            Akhirnya, perdebatan tentang keberadaan Pengadilan Tipikor sebaiknya ada di ranah legislatif. Sebab, dengan pendekatan legalitas formal, baik dengan UU sendiri maupun dalam UU lain, keberadaan Pengadilan Tipikor adalah legal dan sah. Ini adalah bagian dari upaya pemberantasan korupsi yang diamanatkan rakyat pada era Reformasi.

*Ringkasan Karya Tulis Ilmiah Penulis (Sbagai Finalis LKTI UII 2009)

**Mahasiswa FH UII 2007

 

Selasa, 13 Januari 2009

Problematika HAM

Warga Negara di Indonesia

 

Oleh: Tommy Apriando

 

 

Hak politik bagi seluruh Warga Negara Indonesia adalah suatu keniscayaan dalam tatanan Negara demokrasi yang menjujung tinggi HAM. Di dalamnya tercetus ide – ide tentang prinsip – prinsip kesamaan dan kesetaraan bagi seluruh warga Negara tanpa memandang perbedaan dari sisi apapun.

            Berpuluh – puluh tahun kebebasan untuk menyuarakan kata hati dibelenggu dengan pongahnya oleh rezim orde baru, hingga tibalah saat ini dimana cahaya terang menuju kebebasan befikir,kebebasan berpendapat dan kebebasan berdemokrasi dituntut untuk dilindungi dan ditegakkan oleh Negara sebagai amanat konstitusi 1945, menuju terciptanya masyarakat yang berkeadilan, yaitu masyarakat yang adil dalam kesejahteraan, dan sejahtera dalam keadilan.

Cahaya terang menuju kebebasan berfikir, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berdemokrasi adalah cita – cita dan dambaan seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan yang kita rasakan pada masa orde baru memang melenakan kita akan indahnya hasil –hasil pembanguna fisik material, namun disisi lain ada aspek – aspek non material yang juga seharusnya juga dibangun oleh Negara namun malah ‘dimatikan’ dengan segala cara. Kebebasan berpendapat, kebebasan mengkritisi, kebebasan berorganisasi, hingga kebebasan berpolitiksecara luas tidak diakomodir dan dilindungi oleh Negara dan pemerintah dengan alasan akan menganggu stabilitas keamanan, stabilitas politik dan ekonomi, yang secara tidak langsung juga dianggap akan menghambat proses pembangunan. Akhirnya rakyat merasakan betapa pahitnya ketika hasrat dan gairah politik terbelenggu dalam cengkeraman kekuasaan.

            Era Reformasi menjadi masa perubahan yang diharapkan mampu mengubah keadaan Negara berkaitan dengan upaya perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia. Di tahun 1999, DPR meratifikasi UHDR 1948 kedalam Undang – undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,selanjutnya MPR secara meraton mengamandemen UUD 1945 dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 sebanyak empat kali amandemen dengan memasukkan aspek – aspek Hak Asasi Manusia yang selama ini diabaikan dan tidak tercantum secara eksplisit di dalam konstitusi. Indonesia yang sempat dianggap sebagai Negara yang kurang memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, saat ini menjadi salah satu Negara denga agenda HAM terbesar didunia.

            Di tahun 2005, Indonesia kemudian meratifikasi ICCPR 1966 ke dalam undang – undang nomor 12 tahun 2005. Berbagai kebijakkan yang telah dilakukan pemerintah dalam upaya perlindungan hak asasi manusia selama era reformasi memang patut diacungi jempol, jika kita merujuk hanya kepada usaha pemerintah untuk melahirkan produk – produk hukum berkaitan dengan hak asasi manusia. Namun rapor merah atas implementasi segala kebijakkan yang tertuang dalam produk hukum yang ada sudah menanti di depan mata, jika agenda – agenda HAM yang selama ini digaungkan tidak pernah direalisasikan.

            Aspek HAM yang saat ini banyak disoroti oleh publik adalah berkaitan dengan hak politik, khususnya hak pilih warga Negara dalam pemilihan umum. Banyak tuntutan masyarakat atas perubahan sistem dan pelaksanaan pemilu di era reformasi, dengan harapan Pemilu di Era Reformasi tidak seperti pemilu yang dilaksanakan di masa orde baru.Menurut Muhammad AS. Hikam, Pemilu di Era orde baru dalam wacana dan kiprah politik masih lebih diberi bobot sebagai sebuah kewajiban ketimbang hak warga Negara. Visi yang mementingkan kewajiban ketimbang hak ini sangat dipengaruhi oleh visi integralistik, hak warga Negara yang tersendiri terlepas dari Negara tidak diakui.

            Dualisme antara Negara dan warga Negara sebagai individu tidak dikenal, oleh karena individu tidak lain adalah suatu bagian organik dari negar (staat), yang mempunyai kedudukan dan kewajiban tersendiri untuk menyelenggarakan kemuliaan staat.Meskipun begitu Prof. Soepomo menyatakan bahwa”Staat bukanlah suatu badan kekuasaan atau raksasa politik yang berdiri diluar lingkungan suatu kemerdekaan seseorang”.

            Negara dianggap mengatasi segala golongan dan segala pribadi dalam visi integralistik, dimana negara mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyat seluruhnya. Dengan visi ini, maka masalah hak asasi warga Negara sebagai individu menjadi problematik dan tidak relevan untuk di tempatkan di dalam format partai politik yang dikembangkan darinya.

            Inilah visi yang hendaknya diubah dalam format Pemilu reformasi,dimana selayaknya hak politik warga Negara diakui dan dijunjung tinggi oleh pemerintah seluruh elemen bangsa,sehingga pemilu tidak hanya menjadi permainan politik para elit, namun juga menjadi wahana kebebasan berfikir dan berpendapat dari seluruh warga negara.

            Banyak kasus yang berkaitan dengan hak politik khususnya hak plih warga Negara muncul tatkala produk perundang – undangan pemilu bertentangan dengan konstitusi dan produk perundang – undangan HAM yang ada dan berlaku di Indonesia. Salah satunya adalah pada saat Mahkamah Konsitusi menerima permohonan judicial review atas Undang – Undang Pemilu 2004( UU 12 tahun 2003) khusunya mengenai pembatasan menurut pasal 60 huruf g UU No. 12/2003 tentang syarat calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten Kota, dimana pasal tersebut mewajibkan syarat calon adalah bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau orang yang bukan terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya. Meskipun amar putusan perkara No. 011/PUU-I/2003 dan No. 017/PUU-II/2003 ini menolak permohonan judicial review dari para pemohon karena dianggap para pemohon yang bukan mantan anggota PKI dan ormas- ormasnya tidak mempunyai legal standing, namun ada banyak hal yang bisa kita jadikan pelajaran dari kasus ini untuk pemilu di tahun-tahun mendatang.

            Pada kasus ini, Mahkamah Komstitusi merujuk ke pasal 27 ayat 1,28D ayat 1 dan 28I ayat 2 UUD 1945 mengenai larangan diskriminasi. Mahkamah Konstitusi juga menyebut pasal 1 ayat 3 UU No. 39/1999 tentang HAM dimana Pasal tersebut tidak membenarkan terhadap diskriminasi berdasar pada “perbedaan agama, suku, etnis, kelompok, golongan status social, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik”. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi menggunakan pasal 21 Universal Declaration of Human rights (UDHR) dan pasal 25 ICCPR untuk menegaskan bahwa hak pilih merupakan hak asasi.

            Pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi warga. Meskipun begitu, bukan berarti hak asasi warga tidak dapat di batasi, karenanya berdasarkan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945. Pembatasan hak asasi berdasar pada ketentuan tersebut dapat dibenarkan sepanjang”… semata – mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai – nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

            Konsep inilah yang seharusnya menjadi parameter kita untuk mengukur sejauh mana warga Negara dapat melaksanakan hak asasinya khususnya yang berkaitan dengan hak politik. Pembatasan hak politik bagi mantan anggota PKI yang secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam peristiwa G 30 S/PKI mungkin sangat bisa kita terima sebagai satu bentuk pembatasan hak politik yang tepat yang telah dilakukan oleh Negara. Namun kasus ini hanya sebagai gambaran contoh, dengan harapan tidak akan pernah terjadi lagi diskriminasi golongan dalam hak politik bagi seluruh warga Negara pada pemilu dimasa – masa yang akan datang.

            Berbagai masalah aktual lainnya misalnya berkaitan dengan boleh atau tidaknya TNI/POLRI menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum, boleh tidaknya para tahanan politik dan narapidana politik menggunakan hak politiknya, hingga boleh tidaknya warga Negara yang memiliki keterbatasan fisik atau jasmani untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil rakyat,dimana masalah ini menjadi dinamika hak asasi yang muncul pasca reformasi dan tidak tertutup kemungkinan akan banyak problematika baru yang akan muncul esok hari. Harapannya, pertimbangan atas konsekuensi yang harus ditanggung oleh pemerintah ketika meratifikasi suatu produk hukum internasional menjadi janji atas terlaksananya ketentuan yang ada di Republik Indonesia ini.

            Kesimpulannya, perkembangan hak asasi manusia di Indonesia berjalan dengan sangat pesat ketika terlepas dari belenggu tirani selama 32 tahun. Namun pekerjaan rumah yang betambah besar juga harus ditanggung oleh Negara atas berbagai kebijakan – kebijakan HAM khususnya yang mau tidak mau mengikuti arus dunia internasional.Kita berharap Negara mampu untuk memberikan jaminan atas pengakuan dan perlindungan hak politik warga Negara guna terciptanya iklim kebebasan yang sehat dan bertanggung jawab pada diri warga Negara. Sehingga pembangunan di waktu-waktu yang akan datang benar-benar akan sempurna membangun fisik dan psikis warga Negara dengan tidak melepaskan diri dari dasar ideology dan konsitusi bangsa.