Jumat, 30 Januari 2009

“Memotong Kaki” Pengadilan Tipikor*

Oleh : Tommy Apriando**

            Akhir-akhir ini di media massa muncul pendapat sejumlah tokoh dan praktisi hukum terkait ketidaksetujuan terhadap keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kehadiran pengadilan ini pun, dalam entitas sistem peradilan di Indonesia, tidak dikehendaki. Mereka juga menafikan peran Pengadilan Tipikor sebagai bagian dari pemberantasan korupsi. Sebenarnya keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan bukti keseriusan pemerintah dan DPR atas tekad pemberantasan korupsi, yang dilandasi fakta ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga penegakan hukum yang ada saat itu.

            Ini menjadi konsideran dalam Huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang berbunyi, "lembaga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi belum berfungsi efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi". Selain mengatur pembentukan KPK, Pasal 53 UU No 30/2002 tegas menyebutkan pembentukan Pengadilan Tipikor. Harus diakui, ide pembentukan Pengadilan Tipikor sebenarnya merupakan pemikiran besar meski tereliminasi karena penuntutannya dilakukan KPK. Sebenarnya, inilah penyebab mengapa Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan memutuskan perkara korupsi yang berasal dari KPK. Bila mengikuti pemikiran awal, pengadilan ini seharusnya juga memeriksa dan memutus semua perkara korupsi yang dituntut penuntut umum pada KPK dan pada kejaksaan. Pasal 1 Angka 3 UU 30/2002 pun menegaskan, upaya pemberantasan korupsi harus dilakukan pada semua lembaga, dengan segala cara dan pada setiap proses.

            Mengapa harus dilakukan di semua lini, termasuk di lembaga peradilan? Bukan rahasia lagi, praktik mafia peradilan dan berbagai bentuk judiciary corruption yang terjadi dalam penegakan hukum di Indonesia justru menjadikan aparat penegak hukum sebagai bagian dari masalah, bukan bagian dalam memecahkan masalah pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena itu, tidak perlu diperdebatkan pembentukan Pengadilan Tipikor merupakan bagian integral upaya pemberantasan korupsi, sehingga mempersoalkan eksistensinya sama dengan pengingkaran terhadap kehendak reformasi untuk memberantas korupsi secara progresif.

            Bahkan, bisa jadi pengingkaran itu merupakan penolakan terhadap upaya pemberantasan korupsi yang cepat atau lambat akan menyentuh mereka yang menikmati suasana koruptif yang terjadi di lingkungannya. Apalagi bila diingat prestasi yang dibuat Pengadilan Tipikor selama tiga tahun keberadaannya menjadi sosok yang ditakuti, bahkan menjadi "kuburan" bagi pelaku korupsi. Pengadilan Tipikor juga tidak memberi peluang untuk bergerilyanya mafia peradilan, yang semuanya dapat terjadi, karena sistem yang baik dan integritas hakim dan paniteranya.

Bukan bagian KPK

            Pengaturan pembentukan Pengadilan Tipikor dalam sebuah undang-undang yang sama dengan pengaturan pembentukan KPK, yakni UU No 30/2002, tidak dapat diartikan pengadilan itu merupakan bagian KPK. Ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya hubungan organisasi dan administratif antara kedua lembaga itu. Pengadilan Tipikor ada di bawah lingkup pengadilan umum. Segala hal yang terkait dengan pembinaan sumber daya dan pengorganisasiannya menjadi tanggung jawab Mahkamah Agung (MA). KPK merupakan lembaga negara yang independen dan tidak ada satu aspek pun dari manajemen sumber daya dari Pengadilan Tipikor yang menjadi tanggung jawab KPK. Hubungan yang ada hanya bersifat fungsional antara KPK sebagai penuntut umum dan pengadilan, seperti antara kejaksaan dan pengadilan. Jika selama ini terdakwa dalam perkara korupsi yang diajukan KPK ke Pengadilan Tipikor tak pernah ada yang dibebaskan, itu semata-mata karena penyidik dan penuntut umum pada KPK dengan kehati-hatian dan profesional melaksanakan tugasnya.

            Alat bukti yang disajikan dan argumentasi yang dibangun mampu meyakinkan hakim pada Pengadilan Tipikor. Hingga kini tidak satu pun terdakwa yang diajukan KPK dapat lolos dari tuntutan di Pengadilan Tipikor. Namun, itu bukan berarti tak terdapat perbedaan pendapat antara penuntut umum pada KPK dan hakim tipikor. Ini dibuktikan dengan banyaknya KPK mengajukan banding, bahkan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tipikor, meski tak pernah membebaskan terdakwa korupsi yang diajukan KPK.

Mengatur Pengadilan Tipikor

            Ada perdebatan menarik tentang di mana sebaiknya pembentukan Pengadilan Tipikor diatur. Apakah UU, dalam arti dibentuk melalui sebuah UU yang diterbitkan secara khusus untuk membentuk Pengadilan Tipikor, seperti UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, atau dalam UU lain, dalam pengertian pengadilan ini dapat dibentuk dalam UU lain yang tidak secara spesifik. Ini tetap dimungkinkan dalam sistem hukum di negeri ini. Dengan cara berpikir seperti ini, jika UU 30/2002 tidak berjudul Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi Pemberantasan Korupsi, mungkin tidak timbul masalah terhadap Pengadilan Tipikor, termasuk keinginan untuk "membunuhnya". Keinginan itu tentu dengan beragam latar belakang kepentingan, tak sekadar murni persoalan legislasi dan konstitusi.

            Akhirnya, perdebatan tentang keberadaan Pengadilan Tipikor sebaiknya ada di ranah legislatif. Sebab, dengan pendekatan legalitas formal, baik dengan UU sendiri maupun dalam UU lain, keberadaan Pengadilan Tipikor adalah legal dan sah. Ini adalah bagian dari upaya pemberantasan korupsi yang diamanatkan rakyat pada era Reformasi.

*Ringkasan Karya Tulis Ilmiah Penulis (Sbagai Finalis LKTI UII 2009)

**Mahasiswa FH UII 2007

 

Selasa, 13 Januari 2009

Problematika HAM

Warga Negara di Indonesia

 

Oleh: Tommy Apriando

 

 

Hak politik bagi seluruh Warga Negara Indonesia adalah suatu keniscayaan dalam tatanan Negara demokrasi yang menjujung tinggi HAM. Di dalamnya tercetus ide – ide tentang prinsip – prinsip kesamaan dan kesetaraan bagi seluruh warga Negara tanpa memandang perbedaan dari sisi apapun.

            Berpuluh – puluh tahun kebebasan untuk menyuarakan kata hati dibelenggu dengan pongahnya oleh rezim orde baru, hingga tibalah saat ini dimana cahaya terang menuju kebebasan befikir,kebebasan berpendapat dan kebebasan berdemokrasi dituntut untuk dilindungi dan ditegakkan oleh Negara sebagai amanat konstitusi 1945, menuju terciptanya masyarakat yang berkeadilan, yaitu masyarakat yang adil dalam kesejahteraan, dan sejahtera dalam keadilan.

Cahaya terang menuju kebebasan berfikir, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berdemokrasi adalah cita – cita dan dambaan seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan yang kita rasakan pada masa orde baru memang melenakan kita akan indahnya hasil –hasil pembanguna fisik material, namun disisi lain ada aspek – aspek non material yang juga seharusnya juga dibangun oleh Negara namun malah ‘dimatikan’ dengan segala cara. Kebebasan berpendapat, kebebasan mengkritisi, kebebasan berorganisasi, hingga kebebasan berpolitiksecara luas tidak diakomodir dan dilindungi oleh Negara dan pemerintah dengan alasan akan menganggu stabilitas keamanan, stabilitas politik dan ekonomi, yang secara tidak langsung juga dianggap akan menghambat proses pembangunan. Akhirnya rakyat merasakan betapa pahitnya ketika hasrat dan gairah politik terbelenggu dalam cengkeraman kekuasaan.

            Era Reformasi menjadi masa perubahan yang diharapkan mampu mengubah keadaan Negara berkaitan dengan upaya perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia. Di tahun 1999, DPR meratifikasi UHDR 1948 kedalam Undang – undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,selanjutnya MPR secara meraton mengamandemen UUD 1945 dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 sebanyak empat kali amandemen dengan memasukkan aspek – aspek Hak Asasi Manusia yang selama ini diabaikan dan tidak tercantum secara eksplisit di dalam konstitusi. Indonesia yang sempat dianggap sebagai Negara yang kurang memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, saat ini menjadi salah satu Negara denga agenda HAM terbesar didunia.

            Di tahun 2005, Indonesia kemudian meratifikasi ICCPR 1966 ke dalam undang – undang nomor 12 tahun 2005. Berbagai kebijakkan yang telah dilakukan pemerintah dalam upaya perlindungan hak asasi manusia selama era reformasi memang patut diacungi jempol, jika kita merujuk hanya kepada usaha pemerintah untuk melahirkan produk – produk hukum berkaitan dengan hak asasi manusia. Namun rapor merah atas implementasi segala kebijakkan yang tertuang dalam produk hukum yang ada sudah menanti di depan mata, jika agenda – agenda HAM yang selama ini digaungkan tidak pernah direalisasikan.

            Aspek HAM yang saat ini banyak disoroti oleh publik adalah berkaitan dengan hak politik, khususnya hak pilih warga Negara dalam pemilihan umum. Banyak tuntutan masyarakat atas perubahan sistem dan pelaksanaan pemilu di era reformasi, dengan harapan Pemilu di Era Reformasi tidak seperti pemilu yang dilaksanakan di masa orde baru.Menurut Muhammad AS. Hikam, Pemilu di Era orde baru dalam wacana dan kiprah politik masih lebih diberi bobot sebagai sebuah kewajiban ketimbang hak warga Negara. Visi yang mementingkan kewajiban ketimbang hak ini sangat dipengaruhi oleh visi integralistik, hak warga Negara yang tersendiri terlepas dari Negara tidak diakui.

            Dualisme antara Negara dan warga Negara sebagai individu tidak dikenal, oleh karena individu tidak lain adalah suatu bagian organik dari negar (staat), yang mempunyai kedudukan dan kewajiban tersendiri untuk menyelenggarakan kemuliaan staat.Meskipun begitu Prof. Soepomo menyatakan bahwa”Staat bukanlah suatu badan kekuasaan atau raksasa politik yang berdiri diluar lingkungan suatu kemerdekaan seseorang”.

            Negara dianggap mengatasi segala golongan dan segala pribadi dalam visi integralistik, dimana negara mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyat seluruhnya. Dengan visi ini, maka masalah hak asasi warga Negara sebagai individu menjadi problematik dan tidak relevan untuk di tempatkan di dalam format partai politik yang dikembangkan darinya.

            Inilah visi yang hendaknya diubah dalam format Pemilu reformasi,dimana selayaknya hak politik warga Negara diakui dan dijunjung tinggi oleh pemerintah seluruh elemen bangsa,sehingga pemilu tidak hanya menjadi permainan politik para elit, namun juga menjadi wahana kebebasan berfikir dan berpendapat dari seluruh warga negara.

            Banyak kasus yang berkaitan dengan hak politik khususnya hak plih warga Negara muncul tatkala produk perundang – undangan pemilu bertentangan dengan konstitusi dan produk perundang – undangan HAM yang ada dan berlaku di Indonesia. Salah satunya adalah pada saat Mahkamah Konsitusi menerima permohonan judicial review atas Undang – Undang Pemilu 2004( UU 12 tahun 2003) khusunya mengenai pembatasan menurut pasal 60 huruf g UU No. 12/2003 tentang syarat calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten Kota, dimana pasal tersebut mewajibkan syarat calon adalah bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau orang yang bukan terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya. Meskipun amar putusan perkara No. 011/PUU-I/2003 dan No. 017/PUU-II/2003 ini menolak permohonan judicial review dari para pemohon karena dianggap para pemohon yang bukan mantan anggota PKI dan ormas- ormasnya tidak mempunyai legal standing, namun ada banyak hal yang bisa kita jadikan pelajaran dari kasus ini untuk pemilu di tahun-tahun mendatang.

            Pada kasus ini, Mahkamah Komstitusi merujuk ke pasal 27 ayat 1,28D ayat 1 dan 28I ayat 2 UUD 1945 mengenai larangan diskriminasi. Mahkamah Konstitusi juga menyebut pasal 1 ayat 3 UU No. 39/1999 tentang HAM dimana Pasal tersebut tidak membenarkan terhadap diskriminasi berdasar pada “perbedaan agama, suku, etnis, kelompok, golongan status social, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik”. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi menggunakan pasal 21 Universal Declaration of Human rights (UDHR) dan pasal 25 ICCPR untuk menegaskan bahwa hak pilih merupakan hak asasi.

            Pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi warga. Meskipun begitu, bukan berarti hak asasi warga tidak dapat di batasi, karenanya berdasarkan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945. Pembatasan hak asasi berdasar pada ketentuan tersebut dapat dibenarkan sepanjang”… semata – mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai – nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

            Konsep inilah yang seharusnya menjadi parameter kita untuk mengukur sejauh mana warga Negara dapat melaksanakan hak asasinya khususnya yang berkaitan dengan hak politik. Pembatasan hak politik bagi mantan anggota PKI yang secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam peristiwa G 30 S/PKI mungkin sangat bisa kita terima sebagai satu bentuk pembatasan hak politik yang tepat yang telah dilakukan oleh Negara. Namun kasus ini hanya sebagai gambaran contoh, dengan harapan tidak akan pernah terjadi lagi diskriminasi golongan dalam hak politik bagi seluruh warga Negara pada pemilu dimasa – masa yang akan datang.

            Berbagai masalah aktual lainnya misalnya berkaitan dengan boleh atau tidaknya TNI/POLRI menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum, boleh tidaknya para tahanan politik dan narapidana politik menggunakan hak politiknya, hingga boleh tidaknya warga Negara yang memiliki keterbatasan fisik atau jasmani untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil rakyat,dimana masalah ini menjadi dinamika hak asasi yang muncul pasca reformasi dan tidak tertutup kemungkinan akan banyak problematika baru yang akan muncul esok hari. Harapannya, pertimbangan atas konsekuensi yang harus ditanggung oleh pemerintah ketika meratifikasi suatu produk hukum internasional menjadi janji atas terlaksananya ketentuan yang ada di Republik Indonesia ini.

            Kesimpulannya, perkembangan hak asasi manusia di Indonesia berjalan dengan sangat pesat ketika terlepas dari belenggu tirani selama 32 tahun. Namun pekerjaan rumah yang betambah besar juga harus ditanggung oleh Negara atas berbagai kebijakan – kebijakan HAM khususnya yang mau tidak mau mengikuti arus dunia internasional.Kita berharap Negara mampu untuk memberikan jaminan atas pengakuan dan perlindungan hak politik warga Negara guna terciptanya iklim kebebasan yang sehat dan bertanggung jawab pada diri warga Negara. Sehingga pembangunan di waktu-waktu yang akan datang benar-benar akan sempurna membangun fisik dan psikis warga Negara dengan tidak melepaskan diri dari dasar ideology dan konsitusi bangsa.