Problematika HAM
Warga Negara di Indonesia
Oleh: Tommy Apriando
Hak politik bagi seluruh Warga Negara
Berpuluh – puluh tahun kebebasan untuk menyuarakan kata hati dibelenggu dengan pongahnya oleh rezim orde baru, hingga tibalah saat ini dimana cahaya terang menuju kebebasan befikir,kebebasan berpendapat dan kebebasan berdemokrasi dituntut untuk dilindungi dan ditegakkan oleh Negara sebagai amanat konstitusi 1945, menuju terciptanya masyarakat yang berkeadilan, yaitu masyarakat yang adil dalam kesejahteraan, dan sejahtera dalam keadilan.
Cahaya terang menuju kebebasan berfikir, kebebasan berpendapat, dan kebebasan berdemokrasi adalah cita – cita dan dambaan seluruh rakyat
Era Reformasi menjadi masa perubahan yang diharapkan mampu mengubah keadaan Negara berkaitan dengan upaya perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia. Di tahun 1999, DPR meratifikasi UHDR 1948 kedalam Undang – undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,selanjutnya MPR secara meraton mengamandemen UUD 1945 dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 sebanyak empat kali amandemen dengan memasukkan aspek – aspek Hak Asasi Manusia yang selama ini diabaikan dan tidak tercantum secara eksplisit di dalam konstitusi.
Di tahun 2005,
Aspek HAM yang saat ini banyak disoroti oleh publik adalah berkaitan dengan hak politik, khususnya hak pilih warga Negara dalam pemilihan umum. Banyak tuntutan masyarakat atas perubahan sistem dan pelaksanaan pemilu di era reformasi, dengan harapan Pemilu di Era Reformasi tidak seperti pemilu yang dilaksanakan di masa orde baru.Menurut
Dualisme antara Negara dan warga Negara sebagai individu tidak dikenal, oleh karena individu tidak lain adalah suatu bagian organik dari negar (staat), yang mempunyai kedudukan dan kewajiban tersendiri untuk menyelenggarakan kemuliaan staat.Meskipun begitu Prof. Soepomo menyatakan bahwa”Staat bukanlah suatu badan kekuasaan atau raksasa politik yang berdiri diluar lingkungan suatu kemerdekaan seseorang”.
Negara dianggap mengatasi segala golongan dan segala pribadi dalam visi integralistik, dimana negara mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyat seluruhnya. Dengan visi ini, maka masalah hak asasi warga Negara sebagai individu menjadi problematik dan tidak relevan untuk di tempatkan di dalam format partai politik yang dikembangkan darinya.
Inilah visi yang hendaknya diubah dalam format Pemilu reformasi,dimana selayaknya hak politik warga Negara diakui dan dijunjung tinggi oleh pemerintah seluruh elemen bangsa,sehingga pemilu tidak hanya menjadi permainan politik para elit, namun juga menjadi wahana kebebasan berfikir dan berpendapat dari seluruh warga negara.
Banyak kasus yang berkaitan dengan hak politik khususnya hak plih warga Negara muncul tatkala produk perundang – undangan pemilu bertentangan dengan konstitusi dan produk perundang – undangan HAM yang ada dan berlaku di
Pada kasus ini, Mahkamah Komstitusi merujuk ke pasal 27 ayat 1,28D ayat 1 dan 28I ayat 2 UUD 1945 mengenai larangan diskriminasi. Mahkamah Konstitusi juga menyebut pasal 1 ayat 3 UU No. 39/1999 tentang HAM dimana Pasal tersebut tidak membenarkan terhadap diskriminasi berdasar pada “perbedaan agama, suku, etnis, kelompok, golongan status social, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik”. Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi menggunakan pasal 21 Universal Declaration of Human rights (UDHR) dan pasal 25 ICCPR untuk menegaskan bahwa hak pilih merupakan hak asasi.
Pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi warga. Meskipun begitu, bukan berarti hak asasi warga tidak dapat di batasi, karenanya berdasarkan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945. Pembatasan hak asasi berdasar pada ketentuan tersebut dapat dibenarkan sepanjang”… semata – mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai – nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Konsep inilah yang seharusnya menjadi parameter kita untuk mengukur sejauh mana warga Negara dapat melaksanakan hak asasinya khususnya yang berkaitan dengan hak politik. Pembatasan hak politik bagi mantan anggota PKI yang secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam peristiwa G 30 S/PKI mungkin sangat bisa kita terima sebagai satu bentuk pembatasan hak politik yang tepat yang telah dilakukan oleh Negara. Namun kasus ini hanya sebagai gambaran contoh, dengan harapan tidak akan pernah terjadi lagi diskriminasi golongan dalam hak politik bagi seluruh warga Negara pada pemilu dimasa – masa yang akan datang.
Berbagai masalah aktual lainnya misalnya berkaitan dengan boleh atau tidaknya TNI/POLRI menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum, boleh tidaknya para tahanan politik dan narapidana politik menggunakan hak politiknya, hingga boleh tidaknya warga Negara yang memiliki keterbatasan fisik atau jasmani untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil rakyat,dimana masalah ini menjadi dinamika hak asasi yang muncul pasca reformasi dan tidak tertutup kemungkinan akan banyak problematika baru yang akan muncul esok hari. Harapannya, pertimbangan atas konsekuensi yang harus ditanggung oleh pemerintah ketika meratifikasi suatu produk hukum internasional menjadi janji atas terlaksananya ketentuan yang ada di Republik
Kesimpulannya, perkembangan hak asasi manusia di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar